Friday, February 23, 2007

Paku dan Kemarahan

Suatu ketika ada seorang anak laki-laki yang bersifat pemarah. Ayahnya berusaha keras untuk membuang sifat buruk anaknya. Suatu hari ia memanggil anaknya dan memberinya sekantong paku. PAKU? Ya, paku. Sang anak heran. Tapi bibir ayahnya justru membentuk senyum bijak. Dengan suaranya yang yang lembut, ia berkata kepada anaknya agar memakukan sebuah paku di pagar belakang rumahnya setiap kali marah.Di hari pertama, sang anak menancapkan 48 paku. Begitu juga di hari kedua, ketiga, dan beberapa hari selanjutnya. Tapi hal ini tak berlangsung lama. Setelah itu jumlah paku yang tertancap berkurang secara bertahap. Ia menemukan fakta bahwa lebih mudah menahan amarahnya dari pada memakukan begitu banyak paku di pagar.
Akhirnya kesadaran itu membuahkan hasil. Si anak telah bisa mengendalikan amarahnya dan tidak cepat kehilangan kesabaran. Ia bergegas memberitahukan hal itu kepada ayahnya. Sang ayah tersenyum. Kemudian meminta si anak mencabut satu paku setiap hari dimana dia tidak marah.Hari-hari berlalu berlalu dan anak laki-laki itu akhirnya berhasil mencabut semua paku yang pernah ditancapkannya. Ia bergegas melaporkan kabar gembira itu kepada ayahnya. Sang ayah bangkit dari duduknya dan menuntun si anak melihat pagar di belakang rumah itu."Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku. Tapi lihatlah lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan pernah bisa seperti sebelumnya," kata si ayah bijak. Sang ayah sengaja memotong kalimatnya pendek-pendek agar si anak mencerna maksudnya dengan baik. Si anak menatap ayahnya dengan sikap menunggu apa kelanjutan ujaran ayahnya itu."Ketika kamu melontarkan sesuatu dalam kemarahan, kata-katamu itu meninggalkan bekas seperti lubang ini di hati orang lain. Kamu dapat menusukkan pisau kepada seseorang lalu mencabut pisau itu. Tetapi tidak peduli berapa kali kamu akan meminta maaf, luka itu akan tetap ada. Dan, luka karena kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik," ujar sang ayah dengan lembut namun sarat. Sang anak membalas tatapan lebut ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Pelajaran yang diberikan ayahnya begitu tajam menghujam relung hatinya. Tanpa disadari, lisan kita ternyata begitu mudah menyakiti orang lain. Semoga kita bisa belajar menjaga lisan dan perbuatan kita.

Sumber : www.man3malang.com

No comments: