Monday, December 11, 2006

No Entry 4 Bush

Sebenarnya tulisan ini dah dibuat beberapa minggu yang lalu, tapi karena beberapa kesibukan n' kepergianku ke belantara hutan banyuwangi selama 2 minggu membuat tulisan ini dipending untuk dimuat di blog, tapi bagaimanapun juga, walaupun dah terkesan lama, dan berita ttg kehadiran Bush ini telah berlalu, tapi kita harus tetap waspada terhadap tindakan yang dilakukan oleh Bush dan sekutu-nya. Oleh karena itu, walaupun isu2 yang beredar di masyarakat dah silih berganti dari kasus Maria Eva dan Yahya Zaini, ataupun masalah poligami yang dilakukan oleh Aa' Gym, janganlah kita terlena dan terpalingkan dari tugas kita untuk selalu mengontrol dan mewaspadai tindakan pemerintah Indonesia jangan sampai "intervensi asing" terutama dari negara berideologi kapitalis masuk ke dalam pemerintahan Indonesia.

Headline media massa beberapa hari yang lalu tidak henti-hentinya mengupas kedatangan sang maniak perang, George W Bush, yang hanya 6 jam. Tidak sedikit kocek yang dirogoh demi “tamu istimewa”; 6 milyar bukan nominal yang kecil bagi negeri yang sedang mengidap krisis multidimensi separah Indonesia. 6 milyar adalah harga yang terlalu mahal untuk sebuah hajatan dengan durasi 5-6 jam. Polisi dibantu TNI-pun telah siap dengan segala kemampuan supermaksimal yang dimiliki untuk menjadi pengawal Bush; frekuensi udara diamankan dan jaringan komunikasi dirancang khusus yang semuanya tentu akan menguras perhatian dan dana yang tidak sedikit. Seketika itu, Indonesia akan tampil layaknya Negara yang tanpa masalah, jauh dari kesempitan hidup, bebas dari utang, kemiskinan, kelaparan, pengangguran dsb. Namun, satu hal yang tidak bisa disembunyikan bahwa penduduk Indonesia, terutama umat Islam, tidak suka dengan kedatangan Bush dan menginginkan presiden koboi itu pergi seketika dari Indonesia.

Fakta membuktikan, selama ini Bush banyak melakukan kejahatan kemanusiaan di Afghanistan, Irak, dujungan penuh serangan Israel ke Palestina dan Libanon, maupun ditempat2 lainnya. Bush telah melukai hati kaum muslimin. Tidak berlebihan jika berbagai elemen masyarakat menolak kedatangan orang no satu Uncle Sam tersebut. Meski begitu, ada saja segelintir orang dan LSM yang mendukung kedatangan Bush, bahkan menganggapnya sebagai tamu yang harus dihormati.

Kunjungan Bush ke Indonesia membahas bermacam agenda ; masalah kesehatan, pendidikan, kerjasama di bidang energi, penanganan bencana alam, dan tentu saja pemberantasan terorisme (walaupun sebelumnya ada pejabat Indonesia yang menyatakan bahwa agenda pembicaraan antara kedua kepala Negara hanya menyangkut “soft power” dan masalah terorisme tak termasuk dalam agenda mereka). Berbagai janji pun diobral oleh Presiden Bush, misal “Amerika serikat siap sharing teknologi untuk energi alternative terutama biofuel”, AS juga bersedia mendukung pembangunan sistem peringatan dini untuk tsunami”, AS akan membantu memberantas wabah flu burung” “bantuan AS sebesar 150 juta dollar untuk mendukung kelancaran program Indonesia Education initiative, dan seabrek janji muluk lainnya. Padahal, banyak hasil pembicaraan dan janji dari orang nomor satu AS itu tak terbukti, hanya omong kosong. Lihat saja, misalnya, hasil pertemuan Bush dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Hasyim Muzadi) dan pimpinan pusat Muhammadiyah yang saat itu dipimpin oleh Syafi’I Maarif tahun 2003 di Bali. Dalam pertemuan itu, Bush menjanjikan antara lain, akan menjadikan Indonesia sebagai moderator di Timur Tengah; yang terjadi adalah Bush justru menambah “amunisi” di Timur Tengah.

Dino patti Djalal mengeluarkan statement bahwa Indonesia mempunyai agenda yang ingin dicapai melalui pembicaraan dengan Presiden AS itu, tetapi perlu dikritisi sejauh mana Indonesia bisa mendesakkan agendanya dihadapan Bush. Bahkan, sekiranya pun Bush meluluskan permintaan dari pemerintah Indonesia, hal tersebut harus tetap diwaspadai ; pasti ada udang dibalik batu!

Berbicara tentang AS, berarti kita sedang berbicara tentang sebuah Negara berbasis ideologi kapitalisme. Dengan memahami karakter ideology yang dianut oleh sebuah Negara, termasuk AS, kita akan mengerti bahwa misi hegemoni dan eksploitasi merupakan sebuah keniscayaatn bagi AS. Melalui misi hegemoni, AS tidak akan berhenti menjajakan prinsip/ nilai yang mereka anut dalam segala aspek, baik politik, ekonomi, dan budaya (baca ; demokrasi, kapitalisme, dan liberalisme) ; misi eksploitasi AS akan menggiring kebijakan, strategi, dan maneuver yang dilakukannya untuk penguasaan sumber daya-sumber daya ekonomi. Misi hegemoni dan eksploitasi itu akan diterjemahkan oleh mekanisme baku (thariqoh) yang berujung pada imperialisme ; awalnya mungkin melalui bentuk diplomasi, lobi-lobi dalam jeratan MoU atau Lol (utang), sebagaimana yang dipraktekkan di Asia Tenggara, tetapi jika dengan itu dianggap tidak efektif maka pola imperialisme (penjajahan) dengan berbagai jargon seperti war on terrorism dan isu nuklir akan menjadi pilihan selanjutnya. Gambaran itu direalisasikan secara jelas oleh kebijakan AS di Timur Tengah saat ini, baik Afghanistan maupun di Irak.

Menaruh prasangka buruk bahwa pasti ada agenda jahat dibalik kunjungan Bush adalah sebuah keharusan (karena kalau tidak, berarti kita benar2 bodoh). Kata Wapres ; “kunjungan ini bermakna strategis”. Dari segi ekonomi, Indonesia dengan penduduk 220 juta jiwa adalah pasar yang menggiurkan untuk produk AS. Bukankah selama ini pemerintah AS masih sering mengeluhkan kondusivitas investasi di Indonesia? Selain itu, AS ingin mengokohkan peran Indonesia dalam membantu menghalang-halangi kebangkitan Islam melalui kedok pemberantasan terorisme.

Sekali lagi kunjungan Bush ke Indonesia tentu bukan hanya kunjungan biasa, tidak terlepas dari kepentingan strategis Amerika di kancah internasional, dan bukan tanpa kompensasi; kita tahu bahwa watak kapitalis tak akan berubah sebagaimana slogan yang kerap mereka koarkan ; there is no such thing as a free lunch 9tidak ada makan siang gratis).

Pemerintah saat ini telah banyak kehilangan kepercayaan dari masyarakat akibat banyaknya kebijakan yang menyengsarakan dan diperlukan adanya pemulihan. Namun, bersikap simpatik pada bangsa trouble maker yang membuat jutaan umat di negeri ini terluka merupakan sebuah pukulan yang jauh lebih telak bagi masyarakat yang hanya akan membuat luka yang lebih dalam. Pada waktu itu, kepercayaan akan semakin luntur yang tentu akan berimbas pada instabilitas. Sadar atau tidak, bangsa ini telah terjebak dalam orbit kepentingan global AS. Demi mandapatkan wortel (carrot) dan menghindari pentungan (stick) AS, kita telah kehilangan harga diri sebagai sebuah bangsa. Jika seperti ini, yakinlah bahwa selamanya status Negara ini akan tetap sebagai pecundang peradaban, bukan bangsa yang bervisi besar dan mulia. Padahal, sebenarnya potensi untuk itu ada pada kita, selama kita sebagai Negara berani bersikap, berani melawan AS, berani menolak anutan nilai yang dibawa oleh AS, berani melakukan sebuah gebrakan untuk sebuah Indonesia baru yang mandiri berbasiskan ideology Islam (bersumber pada hukum Allah), dan berani mengatakan no entry for capitalism and secularism!!!

No comments: