Friday, April 21, 2006

Kartini Telah Dikhianati



Aah....mo' cerita nih, siang tadi ada aksi "Celebrating Kartini Day" gabungan dari mahasiswi BEM UA, BEM ITS, UKMKI UA, UKKI UNITOMO, KAMMI, JARMUSDA, PUSKOMDA, n' KARISMA AIRLANGGA. Seru bo'...lumayan banyak aktivis-nya n' semua akhwat2, jelas dong ni kan hari Kartini gitu lo :), Ya...lumayan sekalian silaturrahim sama saudara2 muslimah yang lain.
Opini apa yang kami sampaikan di depan Gedung Grahadi? Ya tentu saja refleksi ttg perjuangan RA. Kartini. Emang kenapa dengan RA. Kartini? Belum tahu ya dengan perjuangan beliau yang disalah artikan oleh para kaum feminis? O.K.I (baca : oleh karena itu ) Kami ingin meluruskan kembali makna perjuangan beliau. Nah berhubung Mawar disini mewakili opini dari Karisma Airlangga, Mawar kasih bocoran nih...Simak ya...baca-nya ngga' boleh ngantuk lo ya, coz it'a most important 4 U!

April dan Kartini seakan tak bisa dipisahkan. Sejarah Kartini memiliki aura istimewa di kalangan pejuang perempuan. Bulan ini menjadi tonggak perempuan menyuarakan perjuangan hak-hak mereka agar sama dengan kaum adam. Sebuah peristiwa sejarah dapat dimaknai ataupun disalahgunakan sesuai dengan kepentingan pihak yang bersangkutan. Kisah sejarahpun bisa dipenggal, dihilangkan atau bahkan ditambahi penekanan pada bagian tertentu sehingga hanya akan mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan yang salah. Sejarah Kartini pun menjadi sebuah fenomena yang selalu menarik untuk disimak. Kisah perjuangan beliau yang selama ini dipahami dan dicatat adalah semangat emansipasi untuk menjadikan kaum hawa sejajar dengan kaum adam dalam berbagai bidang. Bahkan jika bisa, perempuan lebih unggul dari laki-laki. Seperti inikah yang diperjuangkan Kartini?
Dalam perjuangannya, Kartini menyadari bahwa setiap manusia adalah sederajat dan mereka berhak untuk mendapat perlakuan yang sama. Kartini berusaha untuk mendobrak kungkungan adat Jawa yang membedakan manusia berdasarkan status sosial dan asal keturunan. Saat itu, Kartini memiliki kesimpulan bahwa yang menjadi pangkal kemunduran adalah rasa rendah diri yang dialami oleh masyarakat pribumi. Diakibatkan bangsa Eropa telah menanamkan nilai bahwa bangsa timur adalah rendah dan bangsa Barat adalah mulia, sehingga membuat jiwa Kartini seakan terbakar. Dari sini, Kartini memahami bahwa kemunduran dan rasa rendah diri itu hanya dapat berubah jika kaum pribumi mengenyam pendidikan yang layak atau bahkan sama dengan bangsa Eropa. Sebagaimana nota yang dibuat Kartini, yang berjudul “Berilah Pendidikan kepada Bangsa Jawa”, kepada pemerintah kolonial. ‘Pemberontakan’ Kartini terhadap aturan adat yang dianggapnya diskriminatif, sebagai pemicu utama dirinya untuk membenahi pendidikan di kalangan pribumi secara umum tanpa memandang jenis kelamin. Dari sini, dapat terlihat bahwa perjuangan Kartini tidak hanya bagi kaum perempuan, namun juga bagi kaum laki-laki.
Dengan demikian, adalah suatu hal yang keliru jika emansipasi yang didengungkan oleh Kartini diartikan bahwa hanya semata-mata memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, apalagi sampai tidak membutuhkan peran laki-laki, seperti yang didengungkan oleh kaum feminis.
Upaya untuk menterjemahkan perjuangan Kartini oleh kaum hawa saat ini nampaknya telah melampaui batas. Berikut petikan surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya (4 Oktober 1902), yang akan menegaskan kesalahan mengenai emansipasi, “Kami disini memohon diusahakan pengajaran, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya, yakni menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama”. Disini, tak ada sepatah katapun yang mengajarkan perempuan untuk mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran agar sejajar dengan kaum adam.
Namun, kalangan feminis meyakini bahwa liberalisasi/pembebasan perempuan merupakan pondasi untuk mencapai kemajuan. Karena tatkala kaum perempuan berhasil memperoleh kebebasan dan independensinya, berarti mereka telah keluar dari status inferior yang mereka miliki selama ini. Persoalannya, kita tak dapat menutup mata, bahwa saat yang bersamaan, isu kebebasan ini juga telah membawa berbagai dampak buruk bagi kaum perempuan dan masyarakat secara keseluruhan. Ini adalah akibat kian rancunya relasi dan pembagian peran diantara laki-laki dan perempuan. Runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, fenomena unwed dan no-marry. Merebaknya free-sex, meningkatnya kasus-kasus aborsi, dilema wanita karir, eksploitasi perempuan, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah ditengarai menjadi efek langsung dari isu “kebebasan perempuan”. Tentunya ini amat bertentangan dengan inti perjuangan Kartini.
Derasnya globalisasi dan westernisasi membuat inti perjuangan Kartini mengalami pendistorsian. Perjuangan yang kini dilakukan oleh para feminis, pembela hak-hak perempuan sangat jauh dari ruh perjuangan Kartini. Justru dengan liberalisasi perempuan, posisi mereka menjadi dilecehkan.

What should we do now??

Sebagai bagian dari perempuan, harusnya kita bisa mencari jalan keluar. Apalagi jika kita seorang mahasiswa muslim. Identitas the leader of change semestinya membuat kita memiliki pemahaman yang mendalam untuk mencari solusinya. Kartini sendiri, bagaimanapun juga adalah seorang muslimah dan dia senantiasa mengembalikan bagaimana Islam memecahkan persoalan tersebut. Kartini mengalami pergolakan pemikiran setelah beliau mengenal Islam. Namun, pertemuannya dengan Kyai Haji M. Sholeh bin Umar, seorang ulama besar, telah merubah segalanya. Berikut adalah petikan dialog Kartini dengan Kyai Sholeh, “Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (Al Fatihah) dan induk surat Al Qur’an yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku”.
Dalam pandangan Islam, sesungguhnya mereka sama karena dilihat dari sisi insaniahnya. Yakni sama-sama memiliki seperangkat potensi berupa akal, naluri dan kebutuhan jasmani. Akan tetapi, mereka berbeda dilihat dari ‘jenis’nya dengan kekhasan masing-masing. Fitrah kaum hawa berbeda dengan kaum adam. Mulai dari sisi biologi dan struktur pembentuk tubuhnya amatlah berbeda. Itulah yang mengharuskan keduanya diberi aturan-aturan yang berbeda pula. Keduanya tetap memiliki kesamaan derajat, hanya ketakwaannya pada Allah-lah yang menjadi pembeda bagi keduanya. Dalam hal mengenyam pendidikan, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, bahkan sampai menempuh pendidikan paling tinggi sekalipun. Malah, hal itulah yang menjadi dasar perjuangan Kartini dalam meninggikan martabat perempuan.
Dalam perjuangannya, Kartini tidak sama sekali menuntut persamaan hak dalam segala bidang. Kartini hanya menuntut agar kaum perempuan diberi hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Kartini mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi kaum hawa semata-mata demi kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai seorang perempuan.
Di akhir hayatnya, Kartini menyadari bahwa pengaruh Barat amatlah besar terhadap proses perjuangannya. Bahkan Kartini sempat menuliskan surat kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902, “... tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” Dari petikan surat di atas jelaslah bahwa ada hal-hal yang tidak patut disebut peradaban. Hanya Islamlah yang mampu menjadi pedoman dalam mencari solusi dari suatu persoalan. Karena Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Kartini bertekad untuk menjadi seorang muslimah yang baik dengan memenuhi seruan Surat Al Baqarah ayat 257: minazh-zhulumaati ilan nuur, yang artinya dari gelap kepada cahaya, yang telah mendorongnya untuk merubah diri dari pemikiran yang salah kepada ajaran Allah. Motto R.A Kartini yang termaktub dalam bukunya Habis gelap terbitlah terang, teramat sangat jelas dipaparkan titik tolak dan latar belakang perjuangan beliau.
Tak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa tujuan Kartini adalah mengajak setiap perempuan untuk menjadi muslimah yang memegang teguh ajaran agamanya. Ditambah pula kita adalah mahasiswi muslim, harusnya memiliki porsi yang lebih dalam peran untuk mengembalikan makna perjuangan Kartini di masa depan. Kita jangan sampai terbuai dengan arus globalisasi dan modernisasi. Sudah selayaknya diri kita berada pada barisan terdepan untuk meneladani perjuangan Kartini yang sesungguhnya. saatnya menjadi Kartini-kartini masa kini yang mengalami perubahan diri dan memegang teguh ajaran agamanya, dan menjadi kartini-kartini yang senantiasa meningkatkan kecakapan kita dalam mempersiapkan diri menjadi ibu, pendidik generasi yang pertama.

No comments: